Sebagian umat Islam di berbagai negara menyambut Ramadhan dengan sukacita, tapi sebagian umat Islam belahan dunia lain, terutama mereka yang tinggal di wilayah konflik, menyambut bulan suci ini dengan penuh keprihatinan. Di antara mereka adalah saudara-saudara kita di Jalur Ghaza, Palestina yang masih berada di bawah tekanan dan blokade rezim Zionis Israel, membuat kehidupan mereka makin berat di bulan suci ini.
Banyak warga Ghaza yang merasa mereka seperti tidak sedang berada di bulan Ramadhan, bulan yang biasanya mereka sambut dengan gembira, di mana saat sahur dan berbuka puasa bersama dengan sleuruh keluarga menjadi saat-saat yang paling membahagiakan. Namun suasana itu tak mereka temukan lagi, karena untuk sekedar mendapatkan makanan saja mereka sangat sulit karena situasi ekonomi yang memburuk sejak Israel mengisolasi mereka.
"Jujur, saya bahkan tidak merasa kita sedang menyambut Ramadhan karena dari tahun ke tahun semuanya menjadi memburuk dan semakin buruk, kehidupan menjadi bertambah sulit dan harga-harga barang kebutuhan yang bertambah mahal, " ungkap Dina, seorang mahasiswi yang sedang berbelanja di pasar di Kota Ghaza.
Blokade Israel terhadap Jalur Ghaza sejak Hamas mengambil wilayah itu menyebabkan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari sulit didapat, termasuk kebutuhan bahan bakar.
Warga Ghaza lainnya, bernama Muhammad Abu Sultan mengungkapkan perasaannya tentang Ramadhan tahun ini. Menurutnya, bulan Ramadhan ini tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. "Karena Anda tidak melihat ada sesuatu yang membuatnya menjadi istimewa, " kata bapak empat anak yang sedang berbelanja lampu hiasan khas bulan Ramadhan.
"Tiap tahun saya membelikan anak-anak saya lentera, tapi tahun ini saya sangat kaget karena harga sudah naik hampir dua kali lipat, " ujar Abu Sultan.
Ia juga mengatakan bahwa keluarganya terpaksa harus membatasi makanan yang dimasak, untuk menghemat bahan bakar yang menjadi barang langka di Jalur Ghaza.
Bagi anak-anak Ghaza, lentera menjadi ciri khas dalam menyambut Ramadhan. Sebagian anak-anak di Jalur Ghaza tidak bisa mendapatkan lentera baru untuk menghias rumah, karena orang tua mereka tidak punya cukup uang untuk membelinya atau memang tidak ada yang menjualnya lagi di pasar. Tapi anak-anak Ghaza itu tidak kehilangan akal, mereka dengan kreatif membuat sendiri lentera-lentera itu.
"Ayah saya pergi ke pasar, tapi tidak menemukan satu pun lentera untuk saya. Saya akan membuatnya sendiri dari kartas karton dalam bentuk kotak dan akan menaruh lilin di dalamnya, " kata Ahmed, seorang bocah Ghaza berusia sembilan tahun.
Warga Jalur Ghaza memang harus hidup prihatin di bulan Ramadhan kali ini. Selain harga barang kebutuhan dan harga bahan bakar yang melonjak, mereka juga harus menahan diri untuk tidak bepergian meski untuk sekedar bersilahturahim dengan sanak keluarganya karena terbatasnya biaya dan transportasi publik.
"Dalam kondisi normal, orang-orang biasanya membeli 10 kotak Qamreddin (sejenis makanan dari buah aprikot), tapi tahun ini mereka tidak membeli satu kotak pun, " kata Majid al-Sadi, pemilik toko di Ghaza.
"Situasi ekonomi rakyat Ghaza sudah buruk, dan sekarang bertambah buruk. Israel telah memperlakukan kami dengan cara yang memalukan karena Israel hanya mengizinkan kami untuk mengimpor dalam jumlah sedikit saja, barang-barang kebutuhan yang merupakan barang-barang kebutuhan yang spesial pada bulan Ramadhan, " keluh al-Sadi.
Sumber : www.eramuslim.com
Kamis, 04 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar